Jumat, 22 Oktober 2010

Mengobati via Rekayasa DNA

PDF Print E-mail


ImagePenglihatan mata manusia pada unsur yang superkecil memang terbatas, namun dengan menguasai teknologi nano, semua materi yang tak terlihat dengan mata telanjang, bahkan kerusakan dan gangguan dalam tubuh manusia pun dapat direkayasa dan digantikan hingga kembali berfungsi.
Ide mengutak-atik materi fisik yang berukuran sepersejuta milimeter (10-9 meter) muncul hampir setengah abad lalu. Tersebutlah Richard P Feynman, pakar fisika teoretik yang melontarkan konsep dasar yang melandasi kajian iptek nano pada tahun 1959. Menurut guru besar di California Institute of Technology yang meraih hadiah Nobel Fisika tahun 1965 ini, material dapat dimanipulasi pada skala atom atau nanometer agar bisa ditingkatkan kemampuannya. Dengan begitu, informasi yang termuat dalam Ensiklopedi Britanika, misalnya, dapat dimuat dalam material sebesar ujung penjepit.
Penelitian nanoteknologi baru berkembang setelah ditemukakan Scanning Tunneling Microscope oleh Binnig dan Rohrer (1981). Sejak saat itu dikenal istilah nanoteknologi, yaitu cara mengontrol struktur dan fungsi zat dan sistem-proses pada skala nano sehingga menghasilkan fungsi baru.
Penerapan teknologi nano kemudian meluas tidak hanya pada rekayasa material dan bahan kimia anorganik, tetapi sampai ke biomaterial. Teknologi ini digunakan pada rekayasa biologi untuk meniru perilaku sel dalam tubuh demi penciptaan alat seperti komputer DNA, motor molekul, dan membran molekul, antarmuka sel-sel hidup dengan komputer lain. Dengan demikian dimungkinkan pembuatan komputer yang selain pintar juga memiliki panca indera.
Dengan teknologi nano, protein yang merupakan material dasar makhluk hidup dalam DNA dapat direkayasa sehingga menghasilkan struktur baru asam amino. DNA, yaitu program penentu karakter manusia memiliki lebar sekitar 2 nanometer (nm). Struktur nano berbasis protein itu dapat dibuat untuk menghantar listrik dan terbuka peluang digunakan dalam beragam penerapan yang berbeda.
Peneliti teknologi nano juga telah melakukan eksperimen dengan virus. Virus umum memiliki ukuran sekitar 150 nm dan memiliki reaktivitas kimia, sehingga virus berpotensi dijadikan cetakan dalam membangun perangkat berukuran nano.
Dalam pengobatan
Nanoteknologi di bidang kedokteran dan farmasi dapat mengatasi masalah asupan obat dengan dosis berlebihan dan tidak tepat sasaran. Obat bisa dibuat dalam ukuran nanogram dan diantar langsung ke bagian tubuh yang sakit dengan berbagai cara, misalnya menggunakan cangkang polimer atau dipandu khusus dengan magnet.
Melihat potensi itu, nanoteknologi juga mulai diterapkan dalam terapi kanker, yaitu untuk mengatasi meningkatnya resistensi sel-sel kanker terhadap pengobatan standar-terapi radiasi dan kemoterapi. ”Kedua jenis terapi itu tidak hanya mematikan sel kanker, namun juga merusak sel yang sehat di sekitar lokasi tumor,” urai Ester H Chang, peneliti dari Pusat Kanker Komprehensif Lombardi Pusat Kedokteran Universitas Georgetown, Amerika Serikat. ”Penggunaan teknologi nano bisa meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalisasi efek samping tersebut,” ujarnya.
Hingga saat ini, kata Ester, uji klinik penggunaan partikel nano dalam terapi kanker sedang dilakukan. Dengan teknologi canggih ini, gen penghambat sel kanker dalam liposom partikel nano dimasukkan ke dalam sirkulasi darah manusia melalui injeksi untuk mematikan sel kanker dan tumor dalam segala ukuran di seluruh organ tubuh. Teknologi itu diharapkan dapat menciptakan agen terapeutik dengan fokus sasaran sel yang spesifik dan mengirim obat dosis tinggi secara terkontrol.
Sementara itu, dalam riset nanoteknologi di bidang kedokteran di Indonesia, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ali Sulaeman, teknologi nano belum diterapkan dalam diagnosis maupun terapi kanker. Pada masa depan, partikel nano dapat dijadikan alat diagnostik dan terapi di tingkat DNA dengan memasukkan alat itu ke dalam sirkulasi darah. Begitu mendeteksi adanya penyakit, partikel nano akan menghancurkan sel atau jaringan kanker.
Pada kanker dikembangkan vektor nano seperti partikel nano yang dapat membawa obat atau agen pencitraan ke tumor yang disasari dan alat sensor nano untuk mendeteksi gambaran biologis dari kanker. Kombinasi dua area itu dapat membantu mendiagnosis lebih awal dan terapi lebih baik bagi penderita, ujar Direktur Bidang Hubungan Internasional Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat (NCI) Joe B Harford.
Perkembangan nanoteknologi juga akan mengubah cara pembedahan atau operasi. Dengan NEM (Nanoelectromechanics), robot kecil dapat dimasukkan ke pembuluh darah, lalu dikontrol dan diprogram untuk melakukan pembedahan dalam pembuluh darah yang tersumbat.
Dalam program riset iptek kedokteran di Indonesia dikembangkan aplikasi nanoteknologi hingga kurun 20 tahun mendatang dalam 8 subbidang antara lain nanoporous untuk sekuensi cepat DNA, biokatalis untuk sintesis bahan obat, nanocoating untuk sterilisasi dan antimikrobia, nanosensor untuk deteksi dini penyakit, dan time released material untuk mengatur waktu pengeluaran obat dalam tubuh. (Sumber: KOMPAS

Tidak ada komentar:

Posting Komentar