Kamis, 25 November 2010

PIL BERKAMERA 2 UNTUK DUNIA KEDOKTERAN

Satu lagi kamera berbentuk pil untuk dunia kedokteran dan kali ini diciptakan oleh kerjasama Olympus dan Siemens. Yang satu ini punya 2 buah kamera di kedua sisinya sehingga katanya lebih besar kemungkinannya untuk menemukan masalah apa yang terjadi di dalam perut.
 
Pil ini menggunakan sistim magnit untuk mengontrolnya dari luar untuk mengarahkan pil ke bagian atau area tertentu. 2 kamera yang ada akan menghasilkan gambar secara real-time melalui koneksi wireless dan menjanjikan kualitas gambar dengan kualitas tinggi (high resolution).
Ukuran kapsul ini memilik panjang 31 mm dan diameter 11 mm sehingga ukuran ini diyakini akan lebih mudah ditelan oleh sang pasien. Sayang tidak dijelaskan  bagaimana cara mengeluarkannya, mungkin sekali pakai langsung buang ya?

MASA DEPAN BUMI SAAT MATAHARI BEREVOLUSI

Perubahan iklim dan pemanasan global yang terjadi akhir-akhir ini menjadi salah satu efek yang sangat signifikan dalam perubahan kondisi Bumi selama beberapa dekade dan abad ke depan. Namun, bagaimana dengan nasib Bumi jika terjadi pemanasan bertahap saat Matahari menuju masa akhir hidupnya sebagai bintang katai putih? Akankah Bumi bertahan, ataukah masa tersebut akan menjadi masa akhir kehidupan Bumi?
Bintang Raksasa Merah. Impresi artis. source : Universetoday
Milyaran tahun lagi, Matahari akan mengembang menjadi bintang raksasa merah. Saat itu, ia akan membesar dan menelan orbit Bumi. Akankah Bumi ditelan oleh Matahari seperti halnya Venus dan Merkurius? Pertanyaan ini telah menjadi diskusi panjang di kalangan astronom. Akankah kehidupan di Bumi tetap ada saat matahari menjadi Katai Putih?
Berdasarkan perhitungan yang dilakukan K.-P. Schr¨oder dan Robert Connon Smith, ketika Matahari menjadi bintang raksasa merah, ekuatornya bahkan sudah melebihi jarak Mars. Dengan demikian, seluruh planet dalam di Tata Surya akan ditelan olehnya. Akan tiba saatnya ketika peningkatan fluks Matahari juga meningkatkan temperatur rata-rata di Bumi sampai pada level yang tidak memungkinkan mekanisme biologi dan mekanisme lainnya tahan terhadap kondisi tersebut.
Saat Matahari memasuki tahap akhir evolusi kehidupannya, ia akan mengalami kehilangan massa yang besar melalui angin bintang. Dan saat Matahari bertumbuh (membesar dalam ukuran), ia akan kehilangan massa sehingga planet-planet yang mengitarinya bergerak spiral keluar. Lagi-lagi pertanyaannya bagaimana dengan Bumi? Akankah Matahari yang sedang mengembang itu mengambil alih planet-planet yang bergerak spiral, atau akankah Bumi dan bahkan Venus bisa lolos dari cengkeramannya?
Perhitungan yang dilakukan oleh K.-P Schroder dan Robert Cannon Smith menunjukan, saat Matahari menjadi bintang raksasa merah di usianya yang ke 7,59 milyar tahun, ia akan mulai mengalami kehilangan massa. Matahari pada saat itu akan mengembang dan memiliki radius 256 kali radiusnya saat ini dan massanya akan tereduksi sampai 67% dari massanya sekarang. Saat mengembang, Matahari akan menyapu Tata Surya bagian dalam dengan sangat cepat, hanya dalam 5 juta tahun. Setelah itu ia akan langsung masuk pada tahap pembakaran helium yang juga akan berlangsung dengan sangat cepat, hanya sekitar 130 juta tahun. Matahari akan terus membesar melampaui orbit Merkurius dan kemudian Venus. Nah, pada saat Matahari akan mendekati Bumi, ia akan kehilangan massa 4.9 x 1020 ton setiap tahunnya (setara dengan 8% massa Bumi).
Perjalanan evolusi Matahari sejak lahir sampai menjadi bintang katai putih.
Setelah mencapai tahap akhir sebagai raksasa merah, Matahari akan menghamburkan selubungnya dan inti Matahari akan menyusut menjadi objek seukuran Bumi yang mengandung setengah massa yang pernah dimiliki Matahari. Saat itu, Matahari sudah menjadi bintang katai putih. Bintang kompak ini pada awalnya sangat panas dengan temperatur lebih dari 100 ribu derajat namun tanpa energi nuklir, dan ia akan mendingin dengan berlalunya waktu seiring dengan sisa planet dan asteroid yang masih mengelilinginya.
Zona Laik Huni yang Baru
Saat ini Bumi berada di dalam zona habitasi / laik huni dalam Tata Surya. Zona laik huni atau habitasi merupakan area di dekat bintang di mana planet yang berada di situ memiliki air berbentuk cair di permukaannya dengan temperatur rata-rata yang mendukung adanya kehidupan. Dalam perhitungan yang dilakukan Schroder dan Smith, temperatur planet tersebut bisa menjadi sangat ekstrim dan tidak nyaman untuk kehidupan, namun syarat utama zona habitasinya adalah keberadaan air yang cair.
Terbitnya bintang raksasa merah. Impresi artis. Sumber: Jeff Bryant's Space Art.
Tak dapat dipungkiri, saat Matahari jadi Raksasa Merah, zona habitasi akan lenyap dengan cepat. Saat Matahari melampaui orbit Bumi dalam beberapa juta tahun, ia akan menguapkan lautan di Bumi dan radiasi Matahari akan memusnahkan hidrogen dari air. Saat itu Bumi tidak lagi memiliki lautan. Tetapi, suatu saat nanti, ia akan mencair kembali. Nah saat Bumi tidak lagi berada dalam area habitasi, lantas bagaimana dengan kehidupan di dalamnya? Akankah mereka bertahan atau mungkin beradaptasi dengan kondisi yang baru tersebut? Atau itulah akhir dari perjalanan kehidupan di planet Bumi?
Yang menarik, meskipun Bumi tak lagi berada dalam zona habitasi, planet-planet lain di luar Bumi akan masuk dalam zona habitasi baru milik Matahari dan mereka akan berubah menjadi planet layak huni. Zona habitasi yang baru dari Matahari akan berada pada kisaran 49,4 SA – 71,4 SA. Ini berarti areanya akan meliputi juga area Sabuk Kuiper, dan dunia es yang ada disana saat ini akan meleleh. Dengan demikian objek-objek disekitar Pluto yang tadinya mengandung es sekarang justru memiliki air dalam bentuk cairan yang dibutuhkan untuk mendukung kehidupan. Bahkan bisa jadi Eris akan menumbuhkan kehidupan baru dan menjadi rumah yang baru bagi kehidupan.
Bagaimana dengan Bumi?
Apakah ini akhir perjalanan planet Bumi? Ataukah Bumi akan selamat? Berdasarkan perhitungan Schroder dan Smith Bumi tidak akan bisa menyelamatkan diri. Bahkan meskipun Bumi memperluas orbitnya 50% dari orbit yang sekarang ia tetap tidak memiliki pluang untuk selamat. Matahari yang sedang mengembang akan menelan Bumi sebelum ia mencapai batas akhir masa sebagai raksasa merah. Setelah menelan Bumi, Matahari akan mengembang 0,25 SA lagi dan masih memiliki waktu 500 ribu tahun untuk terus bertumbuh.
Matahari yang menjadi raksasa merah akan mengisi langit seperti yang tampak dari bumi. Gambar ini menunjukan topografi Bumi yang sudah meleleh menjadi lava. Tampak siluet bulan dengan latar raksasa merah. Copyright William K. Hartmann
Saat Bumi ditelan, ia akan masuk ke dalam atmosfer Matahari. Pada saat itu Bumi akan mengalami tabrakan dengan partikel-partikel gas. Orbitnya akan menyusut dan ia akan bergerak spiral kedalam. Itulah akhir dari kisah perjalanan Bumi.
Sedikit berandai-andai, bagaimana menyelamatkan Bumi? Jika Bumi berada pada jarak 1.15 SA (saat ini 1 SA) maka ia akan dapat selamat dari fasa pengembangan Matahari tersebut. Nah bagaimana bisa membawa Bumi ke posisi itu?? Meskipun terlihat seperti kisah fiksi ilmiah, namun Schroder dan Smith menyarankan agar teknologi masa depan dapat mencari cara untuk menambah kecepatan Bumi agar bisa bergerak spiral keluar dari Matahari menuju titik selamat tersebut.
Yang menarik untuk dikaji adalah, umat manusia seringkali gemar berbicara tentang masa depan Bumi milyaran tahun ke depan, padahal di depan mata, kerusakan itu sudah mulai terjadi. Bumi saat ini sudah mengalami kerusakan awal akibat ulah manusia, dan hal ini akan terus terjadi. Bisa jadi akhir perjalanan Bumi bukan disebabkan oleh evolusi matahari, tapi oleh ulah manusia itu sendiri. Tapi bisa jadi juga manusia akan menemukan caranya sendiri untuk lolos dari situasi terburuk yang akan dihadapi.

Kamis, 11 November 2010

MANUSIA MASA DEPAN


Pada tahun 1968, tahun 2001 terasa masih sangat jauh. Pada tahun pembuka milenium ketiga ini bukan tak mungkin teknologi sudah sangat maju sehingga perjalanan antariksa sudah menjadi sangat umum.

Gambaran kolonisasi di luar Bumi. kredit : ESA
Bulan sudah menjadi koloni kita dan penerbangan Bumi-Bulan berjalan beberapa kali dalam sehari, sebuah stasiun antariksa menjadi tempat transit untuk pindah pesawat, dan dalam waktu dekat sudah ada rencana untuk mengirim manusia ke Planet Jupiter. Sebuah perjalanan yang membutuhkan waktu beberapa tahun namun sedang dilaksanakan. Gravitasi buatan diciptakan melalui roda yang berputar pada sumbunya dan sebagian besar awak ditidurkan dalam kamar hibernasi. Hanya dua awak yang bekerja selama perjalanan dengan dibantu oleh komputer super canggih yang memonitor keadaan pesawat.
Paling tidak demikianlah yang mereka bayangkan pada tahun 1968. Almarhum sutradara Stanley Kubrick dan rekannya Arthur C. Clarke—penulis fiksi ilmiah kenamaan yang bermukim di Sri Lanka—mengadaptasi cerita pendek Clarke sebelumnya, The Sentinel, dan melahirkan sebuah film berpengaruh, 2001: A Space Odyssey, yang tidak hanya sangat akurat dalam penggambarannya tentang antariksa, namun juga menggambarkan posisi manusia dalam penjelajahan antariksa. Permulaan milenium ketiga, 2001, bagi mereka adalah permulaan zaman antariksa (space age) yang sebenarnya saat manusia benar-benar menyadari posisinya dalam antariksa: seorang bayi dalam kandungan yang siap dilahirkan dan menjelajah dunia antariksa yang luas. Demikian berpengaruhnya film tersebut sampai orang menduga-duga apakah pada tahun 2001 nanti memang kemajuan teknologi sudah seperti yang digambarkan film tersebut.
Pandangan optimistis ini tak jua hilang saat Clarke menulis cerita pendek Transit of Earth yang mengambil waktu tahun 1984. Pada tahun itu terjadi transit Bumi dilihat dari Planet Mars (dilihat dari Mars, Bumi dapat dilihat bergerak melintasi Matahari) dan seorang astronot yang terdampar sempat menikmati pemandangan tersebut sebelum menghembuskan nafas terakhirnya karena kehabisan oksigen. Walaupun berakhir tragis, namun ada pesan tersurat yang disampaikan Clarke di sini: Pada tahun 1984, penjelajahan manusia di Planet Mars sudah dapat dilakukan.

Terbitnya Bumi di permukaan Bulan, dipotret pada tanggal 24 Desember 1968 oleh astronot-astronot Apollo 8. Sumber: Wikipedia
Penjelajahan antariksa! Pada tahun 1968, bolehlah Clarke bersama Kubrick, saat melahirkan 2001: A Space Odyssey, berpikir optimis karena ilmuwan dan insinyur yang dikontrak NASA sudah sepuluh tahun melakukan eksperimen dan mengirim manusia ke luar angkasa walaupun baru sebatas orbit Bumi. Pada hari natal tahun tersebut, 1968, astronot Apollo 8 berhasil menjadi orang-orang pertama yang meninggalkan orbit Bumi dan mengitari Bulan. Delapan bulan kemudian, Juli 1969, untuk pertama kalinya manusia menginjakkan kaki di Bulan. Penguasaan antariksa oleh manusia serasa tinggal selangkah lagi.
Impian menjelajah angkasa sama tuanya dengan mimpi-mimpi manusia lainnya. Semenjak dulu langit yang tanpa batas adalah ranah dewa-dewi dan manusia biasa yang mencoba menjelajahinya pasti akan mati. Icarus menantang kepercayaan ini, terbang mendekati langit, dan kehilangan nyawanya. Langit kehilangan keangkerannya ketika Newton dan Kepler membongkar rahasia pergerakan langit dan Somniuum, buah karya Kepler, bercerita tentang penjelajahan Bulan dengan bantuan makhluk halus, lahir. Selanjutnya literatur fiksi ilmiah tentang penjelajahan antariksa dan dunia lain mewarnai kehidupan kita. Dan kini…mimpi itu terwujud.

Pioneer 10, diluncurkan pada tahun 1972, adalah wahana tak berawak pertama yang meninggalkan tata surya kita. Sumber:Wikipedia
Lantas bagaimana? Manusia sudah mengirimkan wahana tak berawak ke seluruh penjuru tata surya. Seluruh planet dalam tata surya kecuali Planet Pluto telah diteliti melalui misi pendaratan, mengorbit, maupun hanya terbang-lintas (fly-by). Venus dan Mars telah berkali-kali dijelajahi permukaannya oleh wahana tak berawak Uni Soviet dan Amerika Serikat. Merkurius telah dipetakan melalui misi terbang-lintas Mariner 10 pada tahun 1974 dan wahana Messenger beberapa bulan lalu telah dikirimkan dan akan tiba pada Maret 2011 nanti. Wahana Galileo telah bertahun-tahun mengorbit Jupiter sebelum akhirnya “dimatikan” oleh NASA. Dan baru-baru ini wahana Cassini-Huygens telah mencapai satelit Saturnus, Titan, setelah perjalanan panjang 7 tahun. Tata surya seolah sudah terlalu kecil bagi manusia. Lantas bagaimana? Manusia mengirimkan wahana tak berawak menuju bintang terdekat? Itupun sudah. Wahana tak berawak Pioneer 10, Voyager 1 dan 2, diluncurkan 30 tahunan lalu, kini sudah berada di perbatasan tata surya kita dalam perjalanan meninggalkan tata surya.
Namun di balik semua pencapaian itu, manusia ternyata masih tertidur dalam buiannya. Pionir roket modern, Konstantin Tsiolkovsky, berujar, “Bumi adalah buaian pemikiran namun manusia tak dapat tinggal dalam buaian selamanya.” Mimpi Kubrick dan Clarke masih jauh dari kenyataan karena hingga saat ini sejauh manusia dapat pergi adalah 384.000 km, jarak dari Bumi ke Bulan. Walaupun penerbangan ulang-alik ke orbit Bumi sudah menjadi hal biasa dan Stasiun Antariksa Internasional (ISS—International Space Station) sedang dalam tahap konstruksi, kolonisasi Planet Mars dan penerbangan berawak menuju Jupiter masih jauh dari kenyataan. Pun hingga saat ini belum ada rencana untuk memprogramkan pendaratan manusia di Mars, misalnya, atau pembangunan koloni di Bulan. Tiga badan antariksa terdepan di planet ini, NASA (National Aeronautics and Space Administration—Badan Antariksa Amerika Serikat), ESA (European Space Agency—Badan Antariksa Uni Eropa), dan Rosaviacosmos—Badan Antariksa Rusia, bersama dengan Jepang dan Kanada masih sibuk membangun ISS dan NASA merencanakan penerbangan berawak menuju Mars sebelum 2010. Sejauh ini 438 manusia telah pergi ke antariksa, namun bagaimana masa depan manusia di antariksa?
Masalah paling besar yang menghalangi manusia menjelajahi antariksa sudah diketahui semenjak Jules Verne menulis Dari Bumi ke Bulan (From the Earth to the Moon) pada 1865—astronot menghabiskan sebagian besar waktunya dalam keadaan tanpa bobot. Beberapa waktu sebelum Perang Dunia II, pada tahun 1939, saat Arthur C. Clarke dan beberapa kolega membentuk Perkumpulan Antarplanet Inggris (British Interplanetary Society), mereka merancang sebuah stasiun antariksa berbentuk silinder yang berotasi pada sumbunya, sehingga gaya sentrifugal menghasilkan gaya berat kepada penghuni yang berada di bagian dalam “lantai” silinder. Stanley Kubrick menunjukkan keadaan seperti ini dalam 2001: A Space Odyssey. Desain seperti ini dibuat karena saat itu tak ada yang tahu bagaimana reaksi manusia pada keadaan tanpa bobot, karena keadaan tersebut tak dapat dihasilkan Bumi lebih lama dari beberapa detik saja. Skenario terburuk yang dibuat adalah detak jantung yang tak terkendali dan kematian yang cepat namun menyeramkan (ketakutan inilah yang membuat insinyur Uni Soviet pada masa perang dingin merancang kapsul roket yang sepenuhnya dikendalikan dari Bumi, dan yang mendorong insinyur NASA untuk mengirimkan simpanse lebih dahulu ke antariksa). Sekarang kita sudah mengetahui bahwa ketakutan itu ternyata berlebihan dan astronot yang berada dalam keadaan tanpa bobot semuanya baik-baik saja, walaupun ada banyak sekali pengaruh jangka panjang yang masih belum sepenuhnya kita mengerti. Manusia kini telah tinggal di antariksa selama lebih dari satu tahun (pemegang rekor dunia untuk tinggal paling lama di antariksa adalah Valery Polyakov, 437 hari dalam Stasiun Mir) dan beberapa astronot sudah demikian ketagihan dengan kebebasan dari gravitasi sehingga enggan untuk kembali ke Bumi.

Gravitasi buatan dapat diciptakan dengan mendesain sebuah roda yang berputar pada sumbunya. Ini akan menciptakan gaya sentrifugal yang arahnya menjauhi sumbu roda. Konsep ini sudah dirancang oleh Clarke semenjak 1939, dan kemudian divisualkan dalam film 2001: A Space Odyssey, di mana Frank Poole digambarkan sedang jogging mengelilingi roda tersebut. Sumber: Wikipedia
Dalam keadaan tanpa bobot, informasi gravitasi menghilang dari otak sehingga orientasi “atas” dan “bawah” pun menghilang. Telinga mengirimkan sinyal membingungkan ke otak dan mata mengalami ilusi, bagi beberapa orang hal ini dapat memualkan. Cairan tubuh mengalir ke dada dan kepala. Urat leher mengembang, wajah memerah. Jantung membesar sedikit dan demikian pula organ-organ lainnya. Otak merasakan cairan tubuh terlalu banyak sehingga tubuh pun membuangnya: Kalsium, elektrolit, dan plasma darah. Produksi sel darah merah berkurang sehingga astronot menderita anemia. Dengan hilangnya cairan tubuh, kaki pun mengecil. Selama menjadi Direktur Insitut Penelitian Permasalahan Biomedik Rusia dari tahun 1968 hingga 1988, Oleg Gazenko melihat kosmonot-kosmonot yang kembali dari penerbangan panjang turun dari kapsul dalam keadaan limbung, pucat, tak tahan berdiri, dan harus ditandu. “Kita adalah makhluk Bumi. Perubahan ini adalah harga yang harus dibayar untuk karcis ke luar angkasa,” ujarnya. Tidak hanya berat badan yang menurun, namun juga massa otot dan kerapatan tulang akan menurun akibat kerja dalam keadaan bobot menjadi sangat kecil. Osteoporosis mengancam karena tulang kehilangan kerapatannya sebesar 1 hingga 2 persen dalam sebulan, sebanding dengan laju kehilangan seorang perempuan pasca menopause dalam satu tahun. Oleh karena itu sebelum kita mengirimkan manusia ke antariksa untuk jangka waktu yang lama, persoalan fisiologis ini harus dijawab terlebih dahulu. Dengan teknologi roket yang ada sekarang aja, perjalanan menuju Planet Mars memakan waktu kurang lebih 260 hari. Total lamanya perjalanan antariksa adalah 522 hari ditambah waktu tinggal di Mars selama 455 hari untuk menunggu saat yang terbaik (lihat gambar di bawah).

Mars Pulang-Pergi dalam Dua Setengah Tahun: Perjalanan Bumi-Mars membutuhkan banyak bahan bakar dan waktu yang tepat. Beberapa ahli bahkan menyatakan kita membutuhkan roket pendorong yang sama sekali baru untuk mempercepat waktu perjalanan. Dengan menggunakan teknologi saat ini, jalur yang paling efisien dalam hal penggunaan bahan bakar adalah saat Bumi berada pada posisi pukul enam dan Mars pada posisi sekitar pukul empat (lihat gambar di bawah)---suatu posisi yang terjadi hanya 1 kali dalam 26 bulan. Tahap pertama perjalanan akan membutuhkan waktu 259 hari. Setelah pendaratan, astronot tinggal selama 455 hari di permukaan Mars untuk menunggu posisi terbaik. Total lamanya misi: 972 hari. Sumber: National Geographic
Masalah kedua adalah radiasi. Di luar atmosfer Bumi berkeliaran partikel bernergi tinggi yang dilontarkan matahari melalui mekanisme Pelontaran Massa Korona (Coronal Mass Ejection—CME) dan radiasi sinar kosmis yang berasal dari Galaksi Bima Sakti atau sisa supernova. Eksposur terhadap radiasi pada astronot yang berada dalam perjalanan ke Mars akan jauh lebih besar daripada astronot dalam orbit Bumi atau pada permukaan Bulan. Ion berat yang dibawa radiasi sinar kosmis dapat membombardir sel tubuh, memecah struktur DNA dan menyebabkan kanker.
Berbagai penyelidikan telah dilakukan untuk menghadapi persoalan fisiologis dan radiasi ini. Olahraga rutin terbukti mampu mengatasi beberapa persoalan fisiologis. Kosmonot Yuri Romanenko—yang melakukan olahraga secara rutin dengan menggunakan treadmill di Stasiun Mir—setelah menyelesaikan misi selama 329 hari langsung melakukan handstand dengan satu tangan di depan wartawan. Bahan semacam polietilen pun telah terbukti sanggup menyerap radiasi yang ditimbulkan oleh sinar kosmis. Polietilen telah lama digunakan dalam kapal selam nuklir untuk melindungi pelaut di dalamnya dari radiasi dari reaktor nuklir.
Lalu untuk apa seluruh hambatan ini—baik alamiah maupun teknologi—dihadapi untuk membawa manusia menjelajah antariksa? Selain eksplorasi untuk ilmu pengetahuan, ruang angkasa menjadi solusi bagi persoalan pemukiman. Dengan pertumbuhan penduduk yang sangat pesat, hampir 2 persen setiap tahunnya (ini berarti jumlah penduduk Bumi berlipat ganda setiap 40 tahun), maka dalam jangka waktu beberapa ratus tahun Bumi akan kehabisan tempat tinggal. Insinyur mulai memikirkan konsep tentang pemukiman antariksa sebelum kita melangkah untuk mengkolonisasi Bulan atau Mars. Konsep pemukiman antariksa yang mengorbit Bumi dengan kecepatan tertentu agar dapat menghasilkan gaya sentrifugal yang sama dengan besarnya gaya gravitasi di permukaan Bumi mungkin adalah desain yang paling masuk akal untuk direalisasikan dalam beberapa ratus tahun ke depan.
Sebagai langkah awal, perjalanan antariksa harus dibuat lebih efisien. Roket yang ada saat ini sangat tidak efisien karena hanya sanggup membawa muatan kurang dari 1 persen berat totalnya, sehingga harus dicari teknologi yang membuat ongkos perjalanan antariksa sebanding dengan penerbangan antar benua. Ongkos untuk membawa seorang manusia ke dalam orbit paling tidak hanya beberapa ratus dolar dan bukan jutaan dolar seperti sekarang (Pada 2001, milyuner Denis Tito membayar 20 juta dolar dan menjadi turis antariksa pertama). Satu cara untuk mencapai sasaran ini adalah dengan membangun “elevator antariksa” yang membawa seseorang ke orbit Bumi dengan menggunakan kabel yang digantung di atas satelit geostasioner yang diam di atas permukaan Bumi (satelit ini bergerak berlawanan dengan arah rotasi Bumi dengan kecepatan yang sama). Teknologi satelit geostasioner sendiri kini sudah umum digunakan terutama sebagai satelit relay TV seperti Satelit Palapa. Apabila ongkos pengiriman manusia ke antariksa dapat ditekan, maka frekuensi kepergian ke antariksa dapat ditingkatkan dan pembangunan pemukiman antariksa bukan tidak mungkin dapat direalisasikan.

Pada Desember 2006, NASA mengumumkan rencananya untuk membangun sebuah pangkalan permanen di salah satu kutub Bulan. Empat astronot pertama direncanakan akan mendarat pada tahun 2020, dan barulah pangkalan tersebut akan beroperasi sepenuhnya pada 2024. Rencana ini diumumkan hampir 3 tahun setelah George W. Bush mengumumkan visinya untuk menjelajahi Bulan dan Mars. Sumber: NewScientistSpace
Pembangunan koloni Bulan mungkin adalah langkah selanjutnya, terutama apabila Bulan memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan. Presiden Amerika Serikat, George W. Bush, beberapa tahun lalu pernah mengumumkan rencana untuk membangun koloni di Bulan sebagai batu loncatan untuk pendaratan di Mars (walaupun beberapa kalangan sains di Amerika Serikat sendiri menduga rencana ini hanya sesumbar saja karena Bush sendiri tidak memperlihatkan ketertarikan yang besar terhadap ilmu pengetahuan), dan sisi jauh Bulan (sisi yang tak pernah dilihat dari Bumi) sendiri merupakan lahan yang strategis untuk pembangunan observatorium astronomi radio karena bebas dari gangguan sinyal radio dari peralatan elektronik Bumi.

Terraforming adalah sebuah usaha untuk mengubah sebuah planet yang tadinya tak dapat dihuni manusia menjadi sebuah dunia yang mampu menyokong kehidupan. Ini adalah sesuatu yang tidak hanya membutuhkan sebuah teknologi yang levelnya sangat tinggi dan memakan waktu amat lama, namun juga sangat kontroversial. Ilustrasi ini adalah pengandaian terraforming Mars dalam empat tahapan: Dari planet merah tak berpenghuni menjadi planet kembaran Bumi. Sumber: Wikipedia
Mars dari dulu merupakan sasaran kolonisasi, tidak hanya melalui novel-novel fiksi ilmiah tentang kehidupan di Mars yang sudah bermunculan semenjak zaman Ratu Victoria pada Abad 19 dulu, tetapi juga menjadi sasaran menjanjikan semenjak kita mengetahui komposisi atmosfer Mars yang hampir mirip dengan atmosfer kita dengan kandungan karbon dioksida dan oksigen yang lebih sedikit. Mimpi untuk membangun pemukiman permanen di Bulan atau Mars masih berjalan. Gravitasi di kedua tempat hanya seperenam gaya gravitasi Bumi, sehingga benda-benda beratnya hanya seperenam dari beratnya di Bumi dan energi yang kita butuhkan untuk bekerja hanya seperenam dari energi di Bumi. Namun anak-anak yang dilahirkan pada kedua dunia tersebut akan menghadapi persoalan bila harus mengunjungi planet nenek moyang mereka, Bumi, karena gravitasi menjadi enam kali gaya gravitasi planet kelahiran mereka sehingga kerja menjadi enam kali lebih berat (penggemar komik Dragon Ball karya Akira Toriyama mungkin akan teringat mesin gravitasi yang dapat mengubah-ubah gaya gravitasi sehingga seseorang dapat menggunakannya untuk latihan beban dalam gravitasi yang lebih besar). Dalam beberapa abad mendatang spesies kita mungkin akan terpisahkan secara gravitasi ke dalam beberapa suku yang beradaptasi dengan gravitasi nol (ruang angkasa), gravitasi fraksional (Bulan atau Mars), dan gravitasi satu (Bumi).
Sejauh ini hanya Planet Bumi yang diketahui sebagai tempat paling bersahabat bagi kehidupan manusia. Pada suatu waktu dalam milenium ketiga ini kita mungkin akan menghadapi dilema: haruskah kita membiarkan planet-planet tetangga kita tak berubah, atau kita memodifikasinya agar dapat didiami tanpa harus menggunakan pakaian pelindung? Teknologi terraforming, teknologi untuk mengubah wajah sebuah planet, telah banyak diteliti dan kemungkinan dapat direalisasikan pada beberapa planet dalam tata surya kita. Alga atau tumbuhan perintis lainnya yang dapat hidup tanpa oksigen dan kondisi ekstrim lainnya dapat dikirim ke Planet Mars dan mengubah karbon dioksida yang ada menjadi oksigen dengan bantuan sinar matahari, dan di orbit Venus dapat dibangun tudung untuk mengurangi sinar matahari yang masuk. Tentunya persoalan etika akan muncul dalam kebijakan ini dan protes akan bermunculan dari terutama dari kelompok pecinta lingkungan yang dengan tepat akan menunjukkan kesalahan-kesalahan yang telah kita perbuat pada planet kita sendiri.
Pada milenium ketiga ini kita akan memulai zaman antariksa yang sebenarnya. Sebagaimana yang dikatakan almarhum Carl Sagan dalam Cosmos, kita berada di tepi pantai lautan kosmos dan di seberang lautan kosmos menanti pulau lain yang siap kita jelajahi. Ombak di tepi pantai mengundang kita untuk berkelana lebih jauh, namun siapkah kita mengarungi samudera tersebut? Di luar tata surya kita terbentang bintang-bintang lain yang membentuk galaksi, masing-masing dengan keunikannya masing-masing dan ada pula yang memiliki tata surya seperti matahari kita. Bukan tidak mungkin salah satu di antara planet tersebut juga memiliki kehidupan seperti manusia. Apapun yang akan kita alami dan temukan di antariksa nanti, itu akan membentuk masa depan kemanusiaan. Petualangan umat manusia baru akan dimulai.
Catatan: Tulisan ini pernah dimuat di Majalah Centaurus No. 1, terbit pada tahun 2005. Pada saat itu New Horizons, wahana tak berawak yang akan mengeksplorasi Pluto, belum diluncurkan. Status keplanetan Pluto pun belum lagi dicabut pada saat itu.                                                                                       
Inilah sebagian  robot-robot yang telah tercipta untuk menggantikan anggota tubuh yang mengalami catat. Terknologi robot ini terus  disempurnakan hingga mendekati bentuk dan fungsi aslinya.

Robot Mata dan Telinga

Bionic_EyeAnda mengalami kebutaan akibat kecelakaan? Kini telah tersedia mata robot. Para ilmuan di London Inggris berhasil menciptakan retina mata elektronik sebagai pengganti retina mata yang rusak.

Implan retina elektronik atau mata bionik ciptaan ilmuan MIT ini dapat membantu orang-orang cacat mata  untuk melihat dengan lebih baik.


Diakui,  rekayasa ini belum sesempurna mata asili. Tetapi dengan menggantikan fungsi sel-sel retina, robot bionik ini dapat membantu memberikan tingkat visi dasar bagi mereka yang menderita retinitis pigmentosa, penyebab utama kebutaan.

Pengguna mata bionik memakai kacamata khusus yang dilengkapi  kamera yang mengirimkan gambar relay ke chip. Chip dibungkus titanium ditanamkan pada permukaan luar bola mata. Ketika menerima signal, chip mengolah data  dan mengirimkannya ke syaraf optik di bawah retina mata.  Kacamata juga  mengirimkan signal secara nirkabel ke chip.

Selama 20 tahun, ilmuwan MIT berupaya menyempurnakan mata bionik ini dalam Proyek Boston Retinal Implant  agar setara dengan retina asli.  Pada percobaan terhadap beberapa pasien yang buta didapatkan hasil  mereka seperti melihat awan ketika chip meneirma rangsangan.

"Kami perlu tiga tahun untuk menguji implan retina ini, agar bisa bekerja maksimal," jelas ketua kelompok ilmuwan MIT Jhon Wyatt, seperti yang dilansir Cnet, Selasa (29/9/2009).

Implan retina ini telah berhasil diujicobakan pada babi selama 10 bulan tanpa merusak elektronik.

Selain menciptakan mata bionik  yang melibatkan  20 tim ahli dari  seluruh dunia MIT juga tengah mengembangkan kuping  bionik yang nantinya akan menggantikan fungsi telinga pada pasien yang cacat pendengaran.

Jari Tangan Bionik

robot_jari
Robot lain yang kini terus disempurnakan adalah jari tangan bionik, prodigits Prodigits merupakan robot penganti jari tangan pertama  yang dijual secara umum.

Touch Bionics, perusahaan Inggris yang memenangkan penghargaan atas pembuatan tangan bionik  membuat sebuah tiruan jari tangan bagi  penyandang cacat. Dengan alat ini pasien yang tangan dan jarinya diamputasi  dapat menjalankan aktivitas normalnya kembali.  Ia  kembali bisa  menulis, minum dan aktivitas lainya seperti sebelum amputasi.

Prodigits digerakkan dengan beberapa motor listrik. Pengguna dapat mengerakkan jari-jari  bioniknya  tanpa harus melalui proses operasi.  Sensor-sensor  yang bersentuhan dengan sisa-sisa jari atau otot yang tidak teramputasi  akan mengirimkan signal ke chips.. Simpul-simpul ini  kemudian diterjemahkan dalam gerakan jari-jari bionik.

“Ketika tangan dan jari teramputasi  untuk  memegang dan mengangkat segelas air  mustahil dilakukan. Dengan Prodigits aku bisa melakukannya dengan mudah,” ungkap  Maria Antonia Iglesias, (42) asal  Spanyol.  Setelah 42 tahun menunggu akhirnya ia mampu melakukan gerakan-gerakan sederhana itu dengan robot tangan bioniknya layaknya orang normal.

Touchbionics melansir, Prodigits  dijual dengan harga £ 35.000 sampai £ 45.000. Harga ini termasuk biaya pemasangan, terapi okupasi dan kulit penutup.

Mayoritas pengguna membeli Prodigits dengan dana pribadi. Tidak ada bantuan dari pemerintah. Karenanya Touch Bionics berupaya menjalin kerja sama dengan  National Health Service agar pembiayaan pembelian dan pemasangan robot ini menjadi lebih murah.

Robot Teman
NIT-ZMP-humanoid-1Nippon Institute of Technology, bekerjasama dengan Harada Design, ZMP dan ZNUG  Design kini tengah mengembangkan robot lain, yakni robot yang mampu menggantikan fungsi manusia. Robot humanoid ini diberi nama E-Nuvo. E-Nuvo mempu berinteraksi dengan murid-murid SD atau SMP

Robot  didesain memiliki tinggi 126 cm sesuai dengan ukuran murid-murid SD dan SMP.  Para murid dapat berinteraksi langsung dan merawat robot ini.

E-Nuvo didesain menyerupai manusia,   memiliki dua buah kaki dan tangan serta kepala dengan total berat 15 kilogram. Sumber energi robot berasal dari baterai Lithium Ion.

Untuk bisa berinteraksi, robot  dilengkapi kamera, pengukur kecepatan, gyro sensor, sensor deteksi penghalang, sensor jarak, dan sensor piezoelectric. Robot ini dikembangkan dengan menggunakan Microsoft Robotika Developer Studio.

Andai Darwin benar, bagaimana bentuk manusia masa depan?



Charles Darwin, Siapa yang tak pernah dengar nama Charles Darwin? Pastinya hampir semua orang pernah mendengar nama itu. Ya, orang yang terkenal dengan reori evolusinya. Kira-kira menurut Darwin, ada mekanisme yang membuat mahluk hidup bisa tetap eksis di muka bumi ini yaitu yang disebut evolusi. Kemampuan berevolusi mahluk hidup tidak bisa lepas dari yang namanya kemampuan beradaptasi. Menurut Darwin, setiap mahluk hidup memiliki daya untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dimana dia berada dalam menghadapi seleksi alam. Berdasarkan teori dari Darwin ini sehingga muncul pemahaman yang mengatakan nenek moyang manusia itu adalah kera. Tidak sedikit para ahli yang mendukung teori Darwin walaupun sampai saat ini sebenarnya pernyataan tersebut masih dipertentangkan oleh para ahli biologi, agamawan, sejarawan dan bebragai disiplin ilmu.
Terlepas dari pertentangan yang ada, saya cuma berusaha menuangkan apa yang selama ini ada di kepala saya mengenai bentuk morfologi manusia di masa depan jika ternyata teori tersebut benar adanya.
Saat ini telah ditemukan beragai peninggalan pra sejarah berupa fosil manusia purba, entah itu hasil rekayasa atau memang benar adanya (saya tidak akan menanggapinya). Fosil-fosil ini diyakini oleh sebagian besar ilmuan sebagai nenek moyang Homo sapiens (manusia) sekarang. Bentuknya memang sangat dekat menyerupai kera (bagaimana dengan fosil nenek moyang kera ya??). Nah, proses seleksi alam dengan kemampuan berevolusi mahluk-mahluk purba itu menghasilkan spesies baru yang namanya manusia modern yang hidup sampai sekarang.
jika teori ini benar, tentunya proses evolusi masih terus berlangsung sekarang ini. Mari kita coba lanjutkan evolusi manusia sekarang menuju jutaan tahun yang akan datang (kalau 2012 tidak kiamat, hehehe..).
Menurut hasil penerawangan saya (hehehe.. dukun kalee..), bentuk morfologi manusia yang akan datang sebagai berikut:
  1. Kepala manusia tentunya akan semakin membesar, kerja otak manusia akan semakin berat untuk menemukan hal-hal baru untuk menghadapi proses seleksi alam. Manusia akan terus berpikir bagaimana caranya agar bisa tetap eksis di tengah perubahan kondisi alam. Hal ini akan menyebabkan volume otak manusia akan semakin membesar.
  2. Alat gerak (kaki dan tangan) akan mengecil. Trend “serba efektif” akan mempengaruhi temuan-temuan para ali yang akan datang dimana tidak menutup kemungkinan penggunaan tangan dan kaki amat sangat jarang lagi. Sekarang saja, semuanya serba tombol (tinggal penceet..)
  3. Penggunaan organ pencernaan mekanik (mulut, usus, lambung,dll) manusia sudah semakin minim. Mulut mengecil, gigi bisa saja hilang, lambung menyempit, anus mungkin mereduksi. Bukan tanpa alasan, sumber-sumber bahan pakan saat ini pun sebenarnya sudah menipis. Sekarang kita sudah bisa menikmati “makanan” yang serba instant, bahkan makanan aneh para antariksawan menurut saya bisa jadi acuan. Bisa jadi jutaan tahun yang akan datang manusia tidak perlu lagi makan makanan yang kita kenal sekarang ini.
  4. Mata manusia membesar. Saat ini dipastikan lapisan ozon semakin menipis, ini berarti radiasi berbahaya dari sinar matahari semakin tinggi pula. Mata harus beradaptasi untuk menyesuaikan intensitas radiasi tersebut. Bisa jadi retina sudah tidak ada.
  5. Alat penafasan juga menglami perubahan bentuk. Hasil penerawangan saya mendapatkan gambaran bahwa akibat pencemaran udara lobang hidung manusia jutaan tahun yang akan datang akan semakin besar dengan rambut-rambut penyaring yang semakin banyak. Paru-paru akan bekerja keras untuk menyaring gas-gas yang dibutuhkan dalam metabolisme tubuh. Tulang-tulang rusuk akan lebih fleksibel sehingga dapat menampung volume udara yang lebih banyak lagi.
  6. Rasanya tidak sanggup aku melanjutkannya, terlalu mengerikan. Dengan persepsi bahwa pemanasan glbal terus berlanjut, maka suhu permukaan bumi semakin meningkat. Dengan sendirinya manusia pun beradaptasi terhadap suhu yang semakin tinggi. Untuk mengurangi pengeluaran sisa metabolisme tubuh, Kulit dan alat pembuangan manusia juga berubah.
Kira-kira kalau digambarkan secara utuh kurang lebih mirip alien hehe..

Gambaran di atas merupakan hasil penerawangan saya yang “nyeleneh” belum bisa dibuktikan secara ilmiah, jadi silahkan untuk tidak percaya. Tulisan ini saya buat semata-mata untuk menyalurkan “libido” menulis saya yang selama ini masih bersemayam dengan nyamannya di alam imajinasi.

Jumat, 22 Oktober 2010

Prinsip Rekayasa Genetika


- Pasangan basa tertentu di DNA dapat memiliki fungsi vital seperti menghasilkan insulin. Bagaimana cara memanfaatkannya lewat rekayasa genetika?

Nah, kalau DNA adalah inti studi genetika, inti studi dari rekayasa genetika adalah rDNA. Apaan tuh? rDNA kependekan dari DNA rekombinan. Yah, pakai singkatan bahasa inggris lah. rDNA adalah DNA yang telah diubah secara genetik lewat proses pembelahan DNA. Yup. DNAnya dibelah. Jadi untaian DNA dibelah separuh panjangnya dan disatukan dengan untaian DNA dari individu lain, atau bahkan bisa dari spesies lain. Ada dua teknik yang dipakai ilmuan untuk membelah DNA.

Cara pertama, namanya transfer gen. DNA baru dimasukkan kedalam sel organisme. Biasanya ini dilakukan dengan dibantu oleh mikroorganisme yang bertugas sebagai vektor atau tukang bawa. Ia disebut terapi gen, kalau tujuannya untuk kedokteran. Jadi gen yang sudah di ubah atau gen biasa yang normal dimasukkan kedalam sel, untuk menggantikan gen yang rusak. Gen yang rusak bahaya loh. Bisa menyebabkan fungsi gen tersebut lenyap.
DNA juga dapat dipotong jadi pendek dengan memakai enzim pembatas. Tau kan enzim? Enzim itu semacam protein yang mempercepat reaksi kimia. Nah, ujung dari potongan ini memiliki kecenderungan untuk menempel dengan ujung potongan DNA lainnya. Begitu dilepaskan, ia akan memburu ujung potongan DNA yang dapat dia tempelin. Dengan melihat ukuran potongan yang dibuat oleh sebuah enzim pembatas, ilmuan dapat menentukan apakah gen tersebut memiliki sandi genetik yang pantas. Teknik ini telah dipakai dalam menganalisa struktur genetik sel janin dan untuk mendiagnosa penyakit darah tertentu, seperti anemia sel sabit.
Anggaplah ada barisan pasangan basa yang membawa perintah untuk membuat insulin, kalau ada cara untuk memasukkan barisan basa tersebut kedalam DNA bakteri, misalnya, bakteri tersebut akan mampu membuat insulin loh. Pada gilirannya, ini akan meningkatkan hidup orang yang menderita diabetes tipe 1, yang hidupnya tergantung pada suntikan insulin agar tubuhnya mampu memproses gula darah. hiks, sedih 
Walaupun konsep transfer gen ini kedengerannya sederhana banget, kenyataannya sangat susah dilakukan. Orang pertama yang nyobain dan pusing karena kesulitan melakukan ini adalah Paul Berg (1926 – ) yang dikenal sebagai bapak rekayasa genetika. Tahun 1973, Berg mengembangkan sebuah metode buat menyatukan DNA dari dua organisme, sebuah virus monyet bernama SV40 dengan sebuah virus bernama lambda phage. Walaupun berhasil, metode Berg ini rumit abis. Lalu di akhir tahun itu juga, seorang biokimiawan Amerika bernama Stanley Cohen (1922 – ) dari Stanford University, dan Herbert Boyer (1936- ) dari University of California at San Francisco menemukan enzim yang meningkatkan efisiensi prosedur Berg dengan sangat besar. Teknik transfer gen yang dikembangkan Berg, Boyer dan Cohen ini menjadi dasar dari banyak kemajuan dibidang rekayasa genetika.

Mengobati via Rekayasa DNA

PDF Print E-mail


ImagePenglihatan mata manusia pada unsur yang superkecil memang terbatas, namun dengan menguasai teknologi nano, semua materi yang tak terlihat dengan mata telanjang, bahkan kerusakan dan gangguan dalam tubuh manusia pun dapat direkayasa dan digantikan hingga kembali berfungsi.
Ide mengutak-atik materi fisik yang berukuran sepersejuta milimeter (10-9 meter) muncul hampir setengah abad lalu. Tersebutlah Richard P Feynman, pakar fisika teoretik yang melontarkan konsep dasar yang melandasi kajian iptek nano pada tahun 1959. Menurut guru besar di California Institute of Technology yang meraih hadiah Nobel Fisika tahun 1965 ini, material dapat dimanipulasi pada skala atom atau nanometer agar bisa ditingkatkan kemampuannya. Dengan begitu, informasi yang termuat dalam Ensiklopedi Britanika, misalnya, dapat dimuat dalam material sebesar ujung penjepit.
Penelitian nanoteknologi baru berkembang setelah ditemukakan Scanning Tunneling Microscope oleh Binnig dan Rohrer (1981). Sejak saat itu dikenal istilah nanoteknologi, yaitu cara mengontrol struktur dan fungsi zat dan sistem-proses pada skala nano sehingga menghasilkan fungsi baru.
Penerapan teknologi nano kemudian meluas tidak hanya pada rekayasa material dan bahan kimia anorganik, tetapi sampai ke biomaterial. Teknologi ini digunakan pada rekayasa biologi untuk meniru perilaku sel dalam tubuh demi penciptaan alat seperti komputer DNA, motor molekul, dan membran molekul, antarmuka sel-sel hidup dengan komputer lain. Dengan demikian dimungkinkan pembuatan komputer yang selain pintar juga memiliki panca indera.
Dengan teknologi nano, protein yang merupakan material dasar makhluk hidup dalam DNA dapat direkayasa sehingga menghasilkan struktur baru asam amino. DNA, yaitu program penentu karakter manusia memiliki lebar sekitar 2 nanometer (nm). Struktur nano berbasis protein itu dapat dibuat untuk menghantar listrik dan terbuka peluang digunakan dalam beragam penerapan yang berbeda.
Peneliti teknologi nano juga telah melakukan eksperimen dengan virus. Virus umum memiliki ukuran sekitar 150 nm dan memiliki reaktivitas kimia, sehingga virus berpotensi dijadikan cetakan dalam membangun perangkat berukuran nano.
Dalam pengobatan
Nanoteknologi di bidang kedokteran dan farmasi dapat mengatasi masalah asupan obat dengan dosis berlebihan dan tidak tepat sasaran. Obat bisa dibuat dalam ukuran nanogram dan diantar langsung ke bagian tubuh yang sakit dengan berbagai cara, misalnya menggunakan cangkang polimer atau dipandu khusus dengan magnet.
Melihat potensi itu, nanoteknologi juga mulai diterapkan dalam terapi kanker, yaitu untuk mengatasi meningkatnya resistensi sel-sel kanker terhadap pengobatan standar-terapi radiasi dan kemoterapi. ”Kedua jenis terapi itu tidak hanya mematikan sel kanker, namun juga merusak sel yang sehat di sekitar lokasi tumor,” urai Ester H Chang, peneliti dari Pusat Kanker Komprehensif Lombardi Pusat Kedokteran Universitas Georgetown, Amerika Serikat. ”Penggunaan teknologi nano bisa meningkatkan efektivitas terapi dan meminimalisasi efek samping tersebut,” ujarnya.
Hingga saat ini, kata Ester, uji klinik penggunaan partikel nano dalam terapi kanker sedang dilakukan. Dengan teknologi canggih ini, gen penghambat sel kanker dalam liposom partikel nano dimasukkan ke dalam sirkulasi darah manusia melalui injeksi untuk mematikan sel kanker dan tumor dalam segala ukuran di seluruh organ tubuh. Teknologi itu diharapkan dapat menciptakan agen terapeutik dengan fokus sasaran sel yang spesifik dan mengirim obat dosis tinggi secara terkontrol.
Sementara itu, dalam riset nanoteknologi di bidang kedokteran di Indonesia, menurut Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Ali Sulaeman, teknologi nano belum diterapkan dalam diagnosis maupun terapi kanker. Pada masa depan, partikel nano dapat dijadikan alat diagnostik dan terapi di tingkat DNA dengan memasukkan alat itu ke dalam sirkulasi darah. Begitu mendeteksi adanya penyakit, partikel nano akan menghancurkan sel atau jaringan kanker.
Pada kanker dikembangkan vektor nano seperti partikel nano yang dapat membawa obat atau agen pencitraan ke tumor yang disasari dan alat sensor nano untuk mendeteksi gambaran biologis dari kanker. Kombinasi dua area itu dapat membantu mendiagnosis lebih awal dan terapi lebih baik bagi penderita, ujar Direktur Bidang Hubungan Internasional Lembaga Kanker Nasional Amerika Serikat (NCI) Joe B Harford.
Perkembangan nanoteknologi juga akan mengubah cara pembedahan atau operasi. Dengan NEM (Nanoelectromechanics), robot kecil dapat dimasukkan ke pembuluh darah, lalu dikontrol dan diprogram untuk melakukan pembedahan dalam pembuluh darah yang tersumbat.
Dalam program riset iptek kedokteran di Indonesia dikembangkan aplikasi nanoteknologi hingga kurun 20 tahun mendatang dalam 8 subbidang antara lain nanoporous untuk sekuensi cepat DNA, biokatalis untuk sintesis bahan obat, nanocoating untuk sterilisasi dan antimikrobia, nanosensor untuk deteksi dini penyakit, dan time released material untuk mengatur waktu pengeluaran obat dalam tubuh. (Sumber: KOMPAS

REKAYASA GENETIKA PADA PENYAKIT DBD

Rekayasa Genetika Aedes aegypti Cegah DBD

Ketika jumlah penderita demam berdarah dengue terus meningkat di banyak tempat, Malaysia tidak kekurangan akal. Dari penelitian tentang karakter nyamuk Aedes aegypti, penyebar penyakit itu, para ilmuwan di Malaysia menemukan cara mengurangi penyebaran penyakit tersebut: perpendek masa hidup nyamuk Aedes aegypti jantan. Beres.

Kiprah ilmuwan Malaysia tersebut diumumkan oleh Perdana Menteri Malaysia Najib Razak pada Senin (11/10) di Kuala Lumpur, Malaysia, pada acara sela Konferensi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Tidak main-main, meski itu baru berupa proyek percontohan, setidaknya Najib Razak berani mengklaim bahwa Malaysia akan merupakan negara pertama yang menggunakan pendekatan modifikasi genetika pada nyamuk untuk memerangi serbuan penyakit demam berdarah dengue (DBD).

Nyamuk-nyamuk jantan hasil dari pelaksanaan program tersebut nantinya akan dilepaskan ke kehidupan liar. Rencananya, menurut pejabat Kementerian Kesehatan Malaysia, Lim Chua Leng, akan dilepaskan 2.000 hingga 3.000 nyamuk yang sudah dimodifikasi secara genetika ke dua area, kemungkinan pada bulan ini dan November mendatang.

Nyamuk jantan yang dilepaskan ini telah dimodifikasi secara genetika. Hewan-hewan pejantan ini ketika membuahi nyamuk betina, anak-anak nyamuk yang dilahirkan akan berusia lebih pendek. Artinya, nyamuk-nyamuk yang dilahirkan tersebut tidak akan mencapai cukup usia matang untuk membuahi nyamuk betina lagi. Dengan demikian, populasi nyamuk Aedes aegypti akan berkurang secara bertahap.

Menurut para ilmuwan Malaysia, uji coba yang dilakukan di laboratorium telah memberikan hasil yang memberi rasa optimistis. ”Ini proyek percontohan dan kami harapkan berhasil,” ujar Najib Razak, kemarin.

Direktur Regional Pasifik Barat WHO Shin Young-soo, Minggu (10/10), telah memberikan lampu hijau pada upaya yang dilakukan Malaysia dalam melawan DBD. Menurut harian the Star, Young-soo mewanti-wanti bahwa pelepasan spesies baru ke dalam lingkungan harus diikuti dengan pengawasan yang ketat dan teliti. Peringatan serupa disampaikan oleh beberapa aktivis lingkungan karena melepaskan jenis spesies baru bisa memicu akibat yang tidak diinginkan.

Prinsip serupa

Studi yang mirip telah dipublikasikan tahun lalu. Scott O’Neill dari University of Queensland di Brisbane, Australia, bersama rekan-rekannya dalam penelitian mereka menemukan bahwa bakteri Wolbachia strain tertentu mampu mencegah sifat patogenik nyamuk Aedes aegypti karena mereka bisa menyebabkan berkurangnya usia nyamuk Aedes aegypti hingga separuh usianya yang biasa. Jadi, praktis diharapkan bahwa jumlah nyamuk pembawa dengue akan berkurang jumlahnya.

Nyamuk Aedes aegypti yang membawa bakteri Wolbachia ini disebut sebagai nyamuk dengue-resistant (tahan dengue), sementara yang tidak membawa bakteri Wolbachia disebut sebagai nyamuk non-dengue-resistant (bukan tahan dengue).

Nyamuk Aedes aegypti betina yang membawa Wolbachia akan menurunkannya ke telurnya. Para ilmuwan berharap, nyamuk-nyamuk tahan dengue ini akan segera mendominasi populasi nyamuk Aedes aegypti. Rencananya, nyamuk-nyamuk pembawa bakteri Wolbachia ini akan dilepaskan di Vietnam dan Australia.

Mari kita hitung probabilitas nyamuk Aedes aegypti betina menurunkan nyamuk-nyamuk tahan dengue. Nyamuk-nyamuk Aedes aegypti betina tahan dengue memiliki kesempatan kawin dengan kedua golongan nyamuk, yaitu tahan dengue dan bukan tahan dengue.

Sementara nyamuk betina Aedes aegypti bukan tahan dengue hanya bisa dibuahi oleh nyamuk-nyamuk jantan bukan tahan dengue. Jelas bahwa kemungkinan melahirkan nyamuk-nyamuk tahan dengue sebenarnya masih lebih kecil daripada kemungkinan munculnya nyamuk-nyamuk bukan tahan dengue. Meski demikian, ini adalah langkah awal untuk menekan angka penyakit DBD yang terus meluas.

Angka penderita


Berdasarkan catatan Kementerian Kesehatan RI, penderita DBD pada tahun 2008 mencapai 137.469 kasus dengan korban meninggal 1.187 orang. Pada tahun 2009 tercatat 154.855 kasus dengan korban meninggal lebih banyak, yaitu 1.384 orang.

Pihak WHO telah memberikan peringatan bahwa setiap tahun, sekitar 2,5 juta orang rentan terkena DBD—yang dikenal sebagai penyakit infeksi yang penyebarannya tercepat dan disebut sebagai ”pertumbuhannya amat dramatis dalam puluhan tahun terakhir”. Berdasarkan catatan WHO, Asia merupakan daerah dengan 70 persen dari jumlah penduduk dunia yang rentan terinfeksi. Peningkatan jumlah penderita diduga keras akibat peningkatan suhu global, perubahan iklim, peningkatan jumlah penduduk, serta melesatnya pertambahan angka perjalanan antarnegara.

Sementara itu, menjaga kebersihan serta kampanye 3M (menutup, menguras, dan mengubur) rupanya belum mempan untuk mengurangi secara signifikan penyebaran DBD. Demikian pula pengasapan yang selama ini masih dilakukan di banyak tempat. Sejumlah pendapat menyebutkan, pengasapan hanya mampu ”mengusir” nyamuk Aedes aegypti, tetapi tidak membunuhnya. Maka, berbagai upaya lain amat membesarkan hati meski masih butuh waktu lama untuk sampai kepada implementasinya. Yang penting kita telah menanam harapan